Wednesday 16 May 2018

90 Detik

Gadis itu menunggu lampu lalu lintas berubah menjadi hijau, menunggu ia dapat berlari sambil mengendong botol air mineral yang baru dibelinya dari supermarket. Ia menahan genangan air mata sembari mencaci dirinya sendiri. Kenapa aku menangis? tuntutnya. Kenapa aku bersedih? 

Udara senja musim semi membuatnya sesak. Dihadapannya, garis trotoar zebra cross berwarna putih cemerlang. Terlalu putih, gerutunya. Tempat ini tidak membuatnya nyaman. Tapi, pikirnya masak-masak, seandainya ia berada di sebuah dunia berwarna merah jambu pun, hatinya tetap sakit dan ia tetap ingin menangis.

Ia ingin mengerti kesedihannya. Ia tidak ingin mengerti. Pada dasarnya, ia ingin bisa bicara sesuatu yang kedengaran masuk akal dan dewasa, sesuatu yang kira-kira berbunyi seperti ini, 'tentunya, kamu akan mengerti dirimu sendiri seandainya kamu mengerti kesedihan dan kebahagiaanmu. Tentunya, akan adil bagi dirimu kalau kamu dapat memeluk kesedihan maupun kebahagiaanmu dengan sama lembutnya, mencoba memahami keduanya dengan derajat usaha yang sama. Saat itulah kamu dapat menerima siapapun dirimu.'

Tapi omong kosong macam apa itu.

Kemarin ia bermimpi akan cermin-cermin yang pecah. Dalam mimpinya, ia terbangun disebuah wastafel dengan cermin seukuran jendela kamarnya yang retak. Ia berjalan menuju ruangan besar dengan pot cokelat dan bunga-bunga mawar yang gemuk. Ia menemukan potongan cermin berceceran dibawah kakinya. Ia terbangun dan memikirkan akan hal-hal rusak yang tidak mungkin tersusun kembali. Ia memikirkan buku cerita yang baru dilihatnya di toko buku, namun tidak ia beli, tentang gadis kecil bertopeng serigala yang tinggal dibalik cermin dan mengutuk anak-anak ditengah malam.

Ia memutuskan menangis dan menunggu lampu berubah hijau. Ia menunggu orang-orang mulai memandanginya aneh sembari menghakiminya. Ia menunggu alasan yang dapat membenarkan kesedihannya. Sesuatu, selain alasan yang sebenarnya. Ah, pikirnya sambil menghela nafas. Inilah mengapa ia bersedih, melarikan diri memang tidak pernah menyelesaikan apapun.

Tapi, gerutunya. Apakah kita tidak boleh sekali-kali mencoba pura-pura kuat?

Lampu berubah hijau pada detik ke 45. Ia berlari melewati zebra cross, air mineralnya berguncang dalam botol plastik. Seandainya saja ia dapat berlari pulang dalam sekejap, sontak ia akan berbaring di dekat kulkas dapurnya; yang berbau cabai, bawang dan rempah-rempah, tempat dimana ia merasa aman diselimuti dengungan listrik dari kulkas setengah rongsoknya. Sesuatu yang mengingatkannya pada neneknya, sesuatu yang mengingatkannya pada bumi tua yang hangat, yang mampu melelehkan keletihannya.

Monday 11 January 2016

Dongeng Sang Buih (II)

Alkisah, ada sebuah tempat di Negeri Utara dimana rahasia-rahasia manusia menggulirkan dirinya setiap hujan tiba; dimana langit dan lautan bersentuhan, dan berkas-berkas bintang, matahari dan awan-awan berwarna jingga, oranye dan merah muda, bercampuran dengan buih, karang dan ikan-ikan terbang. Di sana, tinggalah para duyung, tukang sihir dan pemanggil hujan yang bersembunyi dari manusia dan kapal-kapal saudagar. Dan di sana, tempat segala sesuatunya dimulai, hiduplah seekor duyung muda yang cantik lagi lembut hatinya. Dewa dan dewi menyayanginya, menurutinya dan menganugerahinya segala kebaikan, keindahan, kebijaksanaan dan rahasia-rahasia semesta pada hari dirinya dilahirkan dari mulut ngarai.

Hanya saja, ada satu kekurangannya, yaitu ia sangat, sangat, ingin tahu.

Suatu hari, pergilah ia pada batas-batas dimana makhluk-makhluk dari tempatnya dilarang melewati, dimana langit dan lautan dijauhkan sejauh-jauhnya timur dan barat, dan dimana manusia, pasar malam dan kembang api pecah ramai di atas perairan. Dalam ketertakjubannya, ia jatuh cinta pada pangeran yang tidak pernah mengingatnya, pun tidak pernah mengenalnya. Begitu besar cintanya, Sang Duyung memutuskan untuk menapaki bumi untuk bertemu Sang Pangeran dan menjadi manusia. Pada akhirnya, meskipun duyung itu telah menyelamatkan hidup si pemuda, menukarkan harta yang paling disayanginyakeluarga dan suaranyademi sepasang kaki yang menyakitkan, pemuda yang bodoh itu tidak pernah mengetahuinya. Pada hari pernikahan Sang Pangeran dengan perempuan pembohong, kakak-kakaknya dari lautan datang memberikan sebilah pisau untuk membunuh pasangan manusia yang tidak tahu diuntung itu. Namun, Sang Duyung menolak cara itu untuk menghukumnya.

"Aku tidak akan melakukannya, kakak-kakakku tersayang. Sesungguhnya, akulah yang akan menderita karena hidup dirundung perasaan pada laki-laki yang tidak pernah mengenalku. Lebih baik akulah yang mati agar terbebas dari diriku sendiri dan kebodohanku. Akan tetapi, pada keturunan ketujuh dariku, akan muncul seorang gadis yang mewarisi darahku. Dan pada keturunan ketujuh mereka, akan muncul seorang pangeran yang mewarisi darahnya. Ia akan menjadi pangeran yang terkuat di seluruh negeri, ia akan dipuja dan diagung-agungkan. Ia mampu melipat langit dan merundukan bumi, ia memiliki keelokan dan keindahan, namun ia tidak akan pernah dicintai apa yang paling ia cintai."

Sang Duyung lalu menusukan pisau tersebut ke jantungnya, yang daripadanya muncul lautan yang tidak habis-habisnya merembesi daratan, yang daripadanya adalah cinta yang tak berkesudahan...

Thursday 26 November 2015

Penutupan

Impian-impian bulan November berhamburan melintasi jalanan-jalanan kota saat ratusan lulusan tahun ini melebur di udara dingin dengan kebahagiaan yang tercecer di antara derak tawa, denting gelas wineyang mungkin hanya diisi wine murahan dan jus jeruk setengah harga, blitz yang mengilap di gelapnya langit sore, serta senyuman lebar para orang tua. Dalam kegemuruhan, aku merasa kecil dan bahagia, dan aku melihat ayahku membuka jaket dan sarung tangannya, lalu gemetar sedikit, untuk berfoto dengan batik yang pagi-pagi disetrikanya hingga licin demi momen pendek ini.

Malam itu kakiku lecet dan aku mengantuk setengah mati. Temanku membawakanku sandal jepit yang kupakai pada suhu di bawah sepuluh derajat dengan angin sialan Skotlandia yang mengibar-ibarkan jarik batikku. Aku ingat betapa minggu-minggu lalu aku bilang pada ibuku kalau aku tidak ingin menghadiri wisuda (mahal dan dingin). Dan ketika ayahku jungkir balik meminta cuti akhir tahun, kubilang tidak usah datang (ijazah dapat dikirim). Tapi ia berkeras dan adikku bilang bahwa aku dan ibuku tidak mengerti yang tidak terlihat. 

Lantas, saat upacara pendek itu usai; saat aku menghambur keluar bersama rombongan bocah setengah tua yang berseri-seri; saat aku melihat cengiran ayahku di antara keriuhan pelukan hangat, ucapan selamat, bunga-bunga dan lautan jubah-jubah wisuda; aku mengerti maksud adikku. Adikkuyang kecil, culun dan dulu suka mengigiti jempol kakiku sambil mengira itu lebih menyakitiku ketimbang harga dirinya kelaksekarang sudah bekerja dan bilang bahwa seluruh bapak-bapak berperut gendut di kantornya mengeluh akan keabsenan mereka pada riak-riak pendek kehidupan anaknya, ibunya, keluarganya; kelahiran yang digantikan rapat, wisuda yang digantikan perjalanan dinas, perayaan natal dan lebaran yang terlewatkan tanpa pulang.

Beberapa menit kemudian ibuku menelpon. Di rumah bulikku di Sidoarjo katanya tidak ada jaringan internet dan ia bolak-balik berusaha melihat wisudaku via live streaming hingga jengkel. Aku tertawa. Dan mendadak aku merasa bahwa acara penobatan yang kemarin kubilang tidak berarti dan tulisanku yang kubilang setengah sampah, seperti punya arti kecil yang lebih berharga, meski bukan untukku. Sambil geli, kukatakan pada ibuku bahwa Ayah telah menghilang selama limabelas menit untuk mengantri DVD kelulusan kami, dan meski aku hanya muncul maksimal duapuluh detik di panggungitupun karena namaku panjang dan jalanku terseok-seok karena kakiku lecetdia bisa puas melihatku berkali-kali.

Malam wisuda itu selesai dan aku melihat pencapaian teman-temanku yang menggetarkan hatikupenelitian akan kebijakan energi di EU, hubungan antara krisis dan kinship di Botswana, manfaat interaksi antar penderita demensia, dllmembuatku merasa kecil namun penuh pengharapan akan kebaikan-kebaikan yang menyelisip malu di dunia. Lantas, usai nyaris mati terseok-seok dan ayahku hampir terpeleset di jalanan licin musim dingin, kami tiba di rumah. Ayahku bersarung, minum teh dan berkata, nyaris pelan, sambil melihat foto-foto wisuda dimana pipiku luar biasa lebar dan rambutku urak-urakan seperti gelandangan"Nak, bersyukur, Nak."

Lalu aku merasa hatiku mengempis dan malam itu aku tertidur dengan kehangatan yang menyelusup di antara heater yang kepayahan. Dan aku mendoakanandaikan terkabul, seluruh teman-temanku, atau pemuda-pemudi di belahan bumi yang lain, yang sedang bekerja hingga larut malam, yang belajar sambil mengutuki nasib, atau yang kebingungan, ketakutan dan merasa gagal ketika malam menggelap dan orang-orang terlelapagar merasakan sejumput kebahagiaan serupa, apapun bentuknya. Dan untuk mereka, untuk teman-temanku yang tidak datang wisuda dan datang, tidak masalah dan tidak apa-apa, karena apapun yang terjadi, ada orang-orang di ujung ruanganentah siapayang dengan tulus berbahagia akan pencapaianmu, meski kadang-kadang kamu merasa tidak. Seperti yang kutangkap dari cerita adikku akan bapak-bapak berperut gendut yang menghantui kantornya, bahwa terkadang kita mengejar yang berada di masa depan dan lupa untuk 'ada' dalam masa ini, untuk menghargai keajaiban-keajaiban yang menempel sekejap dan hanya dapat dirindukan di akhir waktu. Keajaibanku adalah cengiran ayahku, rasa syukurnya yang diucapkannya sambil menghajar musuh di Marvel Champion, ibuku yang mengomeli sambungan internet Indonesia, teman-temanku yang mengeluh kedinginan di luar Usher Hall, sahabat-sahabatku yang mengirimkan pelukan, ucapan selamat, serta yang mengomentari kelusuhanku di foto-foto wisuda. Aku rasa hal-hal seperti ini kadang nyaris tidak terlihat dan kamu mungkin harus memperhatikan dengan seksama untuk melihat ketulusan dan kehangatan yang abu-abu itu.

Selamat malam untuk kita, anak-anak muda yang sedang resah dan selalu merasa tidak cukup. Kamu sudah berjalan cukup jauh dan lihatlah telapak kakimu itu yang mengelupas mengerikan (dalam arti yang sebenarnya ataupun tidak.) Untuk malam ini, tidurlah dan beristirahatlah. Semoga impian-impianmu yang penuh kebaikan itu tercapai.

Wednesday 23 September 2015

Hari Pertama Musim Semi

Ding!

Aroma kopi memenuhi lift kecil berukuran 1x1 yang bergetar lembut ketika berhenti di lantai lima. Aku melangkah keluar dan melihat sekeliling, sambil diam-diam mengucapkan selamat tinggal sejenak pada pojok-pojok ruangan yang dulu kupenuhi dengan kegiatan menanti—menelan ludah, membaca draft proposal, menggaris bawahi post-it berkali-kali—deadline, deadline. Lantas sekarang, aku disini, berdiri lima meter dari pintu kantor dosenku, lebih tua satu tahun dari September tahun lalu, sembari berpikir akan apa yang harus aku tanyakan, katakan dan tidak tanyakan atau katakan. Ia menyambutku, berkaus hijau dan bersin-bersin ketika aku menyalaminya. Dia bilang dia sakit dan baru pulang dari Mesir, serta beberapa kali menjawab sambungan telepon yang menanyakan jadwal kepergiannya ke Paris sore ini—"Halo? Oh, saya sedang bertemu dengan murid saya. Sepuluh menit lagi, bagaimana?" Dalam hati aku menghitung hari-hari menuju kepulanganku ke rumah, pada Indonesia yang hangat dan masakannya yang dipenuhi cabai dan rempah-rempah, pada ayah-ibuku yang menyimpan rahasia-rahasiaku dan teman-temanku yang akan sibuk bertanya rencana masa depanku. Apabila aku sedang ingin berkata jujur, tentu akan kujawab, "aku sedang beristirahat selama dua bulan. Mungkin akan ke gunung, ke pantai, ke perkebunan kopi dan teh, mengelilingi desa-desa yang hangat dan menyerap sinar matahari selagi aku bisa. Aku akan bertemu dengan nenekku, adik-adikku, teman-temanku, orang-orang asing di kelokan pertama dan mendengar kisah mereka hingga aku bosan atau mereka bosan dan minuman kami habis (aku teh, mungkin dia kopi?) Aku akan berjalan, menulis, mengayuh sepeda dan membaca Sartre banyak-banyak. Aku akan bahagia dan baik-baik saja," lalu aku akan tersenyum dan mengikat lidahku, lalu mereka akan termenung dan mengganti topik—atau tidak mengganti topik. Atau tidak peduli sama sekali. Tidak apa-apa.

Ketika sesi pertemuanku berakhir, aku mengambil jalan memutar menuju perpustakaan. Di jalanan dan trotoar-trotoar berbatu, daun-daun mulai menguning, memerah dan beberapa pohon menjadi setengah hijau. Di hadapanku, orang-orang lalu lalang, berdecak dan menarik ujung jaket mereka ketika angin bertiup. Mahasiswa baru, dengan pakaian teranyar dan rambut yang dipangkas menawan, akan bergerombol, malu-malu dan bersemangat, berteriak dan bicara keras-keras untuk mendapat perhatian kawannya. Lalu, bulan depan, jalanan akan dipenuhi dengan anak-anak yang berlarian dengan telinga terbungkus topi berbulu dan jas hujan warna-warni.

Namun aku tidak akan punya waktu untuk melihat semua daun menjadi kuning dan pohon-pohon menjadi telanjang ditiup angin, aku tidak akan ada ketika para mahasiswa ini menekuk wajah mereka—patah hati, essai pertama, nilai buruk atau muntah dan kepayahan di akhir pekan. Aku juga tidak akan menyaksikan kanak-kanak itu berlarian, pipi mereka memerah sementara hujan merembesi jalanan bulan November.

Astaga. Ini sudah hari pertama musim semi.

Pada musim yang sama, setahun yang lalu, aku sedang menekuri daftar kelas pilihan dan tempat tinggal, aku sedang menggeret koperku di atas trotoar berbatu dan memasak spagetti yang tidak enak. Aku sedang menghitung persediaan uang yang terlambat dikirim dan mempelajari matematika ekonomi yang kemudian tidak aku gunakan. Aku sedang menghafal uang koin (delapan jenis, dimulai dari satu penny hingga dua pounds) dan mengingat jalanan menuju tempat tinggal pertamaku yang hangat (dekat kedai pizza, ambil jalan menuju pembuangan sampah di belakang gedung).

Lantas, tiba-tiba, setahun berlalu dengan cepat, melesat tanpa tedang aling dan peduli, meninggalkanku tertegun di ujung jalan. Dan aku ingin sekali protes, 'aku belum belajar banyak!' aku akan berteriak, 'aku belum banyak mengerti!', 'masih banyak yang tidak terhingga!'. Aku akan menghentak-hentakan kakiku, merengek dan merajuk, seakan-akan aku sedang dicurangi waktu.

Dahulu, aku kira aku akan bereaksi demikian.

Tapi rupa-rupanya, sekarang, aku memandang ke belakang dengan ketenangan yang tidak aku mengerti. Seakan aku telah dibuat mengerti akan hal-hal yang terjadi. Yang dulu sudah lalu dan memang selalu ditakdirkan berlalu. Ketika aku datang, aku berharap akan menyelesaikan segalanya dengan spektakuler, menjadi lebih hebat dan lebih pintar, dan aku merasa bahwa dunia adalah kumpulan sistem yang dapat dipecahkan rahasianya (satu ditambah satu—) dan aku, bila berusaha, akan mampu membuka tabirnya dengan mudah (—tidak sama dengan dua?)

Sekarang, aku ingin semua berakhir dengan tenang. Pencapaian dan kegagalanku akan aku simpan diam-diam dan, rupanya, bukannya merasa lebih pintar, aku merasa semakin kecil dan tidak berdaya.

Apabila ada seseorang yang bertanya padaku akan apa yang telah aku pelajari dalam satu tahun ini, aku mungkin akan berkata bahwa ada banyak orang yang mengajarkanku akan banyak, banyak, banyak hal. Bahwa kadang aku merasa seperti dihanyutkan dalam sebuah sampan di batas-batas semesta yang tidak kukenali dan segalanya berkilauan, mengerikan sekaligus menakjubkan. Tapi yang paling berharga untukku adalah bagaimana bulan-bulan inilah yang—dengan lembut ataupun diam-diam memaksa—mengajarkanku untuk berendah hati, untuk mengetahui batas-batas kemampuanku, untuk memahami hal-hal yang dirasa remeh dan digugat penting, untuk memikirkan adanya kebijaksanaan dalam setiap tindakan yang diambil, kata-kata yang diucapkan maupun yang diikat dibalik kerongkongan. Lalu, apabila ada yang bertanya padaku akan apa yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan dunia... Entahlah. Mungkin, mendengar?—dalam arti luas.

Ketika aku tiba di depan perpustakaan, aku terdiam dan memperhatikan bangunan, pohon-pohon, orang-orang dan lampu-lampu jalanan di bawah langit kelabu. Dan diam-diam aku bersyukur. Aku mengambil duduk di atas tangga semen yang dingin lalu menelepon ibuku selama satu jam.

"Halo?—Ya, Ma. Tiga hari lagi Kakak pulang."

Sunday 30 August 2015

Lebah, Rintik Hujan dan Matahari

Suatu hari ponselku berdering, berkali-kali, menyesakan hatiku dan telingaku. Dan kutolak ia, berkali-kali hingga bosan rasanya dan kebas jemariku, sembari berharap seseorang di ujung sambungan tidak menganggap penolakan ini serius dan personal. Lalu, setelah satu dua menit, setelah tiga empat kali sambungan yang sama, kesunyian yang panjang menyergapku. Dan aku tenggelam di dalamnya, tertelan mentah-mentah dalam kediaman dan kesendirian yang kuinginkan. Aku berbaring di atas lantai kamarku, yang berdebu dan digunungi oleh tumpukan baju, piring kotor dan buku-buku. Dari balik jendela dan bunga-bunga yang mengering karena kurang air, aku bisa melihat langit membiru dan awan-awan berarak lembut. Mendadak aku merasa diriku telanjang. Baju dan kulitku dan dagingku mengelupas, lalu tulangku menguap menjadi embun. Lantas yang tersisa hanya jiwaku, yang kecil dan mengeliat lemah layaknya serangga musim panas.

Aku ingin mengulang waktu. Aku iri pada lebah, rintik hujan dan matahari, yang pada setiap penciptaannya mengandung kebaikan.

Lalu aku menangis.

Dongeng I: Matahari

Ketika aku kecil, aku berjanji (dengan bodoh dan naifnya) pada diriku sendiri bahwa kelak akan kutulis banyak kisah. Dan aku bertekad bahwa kisah pertama yang akan kutulis dengan serius adalah sebuah dongeng; tentang gajah yang buta, peri-peri rawa, putri yang menyelamatkan api dan setan-setan tengah malam. Mungkin karena dahulu sekali, aku dibesarkan oleh dongeng-dongeng, yang ditempa dan dijalin dengan rapi, rajut merajut hingga serupa lilitan bintang (meski sekarang, membaca menjadi kegiatan yang mahal, terhimpit atas kesibukan yang diada-adakan dan waktu yang kupura tidak menyisa.)

Saat aku berumur sepuluh tahun, aku mulai menulis puluhan dongeng yang tidak pernah selesai, hilang dan rusak oleh pergeseran tempat dan waktu. Lalu ketika adikku yang paling kecil tumbuh setinggi pinggangku, aku mulai menceritakannya ratusan kisahbaik yang kubaca dan kurangkaiberkali-kali, hingga ia beranjak dewasa. Di bawah ini adalah salah satu cerita yang kutulis nyaris tiga tahun lalu, berdasarkan hikayat dan syair dari barat dan timur yang aku temukan di buku-buku, di film-film, dan pada dongeng-dongeng pengantar tidur yang dibisikan nenekku di larut malam. Aku tidak tahu apakah aku akan melanjutkan untuk menaruhnya disini. Namun, meski sekarang aku tidak menempatkan seluruh kisahnya, rasa-rasanya tidak apa dibacakan disini. Dan meski kamu mungkin belum mengantuk, rasa-rasanya tidak apa pula kamu dengarkan serupa dongeng pengantar tidur. Maka ini adalah penggalan pertama sebuah kisah akan seorang gadis yang memiliki segalanya lalu mati bunuh diri.

Terakhir, selamat tidur.

*

佳人歌
The Beauty Song
北方有佳人,絕世而獨立。
In the north, there is a beauty, surpassing the world, she stands alone
一顧傾人城,再顧傾人國。
A glance of her will overthrow a city; another glance will overthrow the world
寧不知傾城與傾國。
One would rather not know whether it will be a city or a nation that will be overthrown
佳人難再得。
As it would be difficult to behold such beauty again

— Li Yannian, Han Dynasty


Syahdan, hiduplah seorang putri yang teramat cantik jelita.

Atau begitulah biasanya kisah-kisah dimulai dari bibir-bibir tukang cerita yang berkeliling negeri, membawa dongeng-dongeng ajaib dari tempat-tempat yang jauh dan tidak dikenaltentang cinta, keberanian, keserakahan, kebaikan dan pengampunanmenuju rumah-rumah yang berdempetan di desa-desa, di pegunungan, di perbukitan, di dusun-dusun dan di balik hutan-hutan. Lalu diakhiri dengan kata-kata indah, yang diucapkan bagaikan sebuah mantradan mereka hidup bahagia selamanyasebelum anak-anak kecil, dengan jari-jari mungil dan mata mereka yang dalam dan berpijar penasaran, mendengkur dalam keliman selimut dan dilindungi malam. Kisah ini adalah kisah serupa, atau paling tidak, seperti ribuan kisah-kisah yang dibisikan di telingamu nun ketika kamu kecil, akan dimulai dengan kata-kata yang sama:

Syahdan, hiduplah seorang putri yang teramat cantik jelita.

Ia adalah putri mahkota dari sebuah kerajaan yang kaya dan sejahtera. Rakyatnya hidup bahagia, cukup dan dicukupkan. Perkebunan dan pertanian tumbuh di tanah-tanah subur, pertambangan mereka dilimpahi oleh emas dan safir, lalu pohon-pohon dan bunga-bunga merekah di padang-padang luas yang menghampar bagai permadani. Dalam tigaratus enampuluh hari, tidak pernah ada badai, taifun ataupun salju yang menghantam negerinya. Sebagai gantinya, sinar matahari dan hujan mengguyur siang dan malammelindungi rakyatnya dari lapar dan panen yang buruk, menghadirkan musim panas yang tidak terlalu panas, musim dingin yang tidak mencekik, serta hari-hari berhujan dan semilir angin musim semi yang teratur.

Namun dari seluruh hal yang dimiliki oleh rakyat negeri selatansapi-sapi yang gemuk dan penuh air susu, padi-padian yang lezat dan buah-buahan yang masaktidak ada yang sebanding oleh kecantikan putri mahkota mereka, yang parasnya membuat bunga-bunga lisianthus menunduk karena malu dan burung alap-alap hilang keseimbangan lalu menyeruduk rawa-rawa.

Terkadang, pada hari-hari perayaan tertentu, Sang Putri akan keluar dari istananya dan, jika beruntung, rakyat negeri itu dapat melihat sekelebat keindahan parasnya atau mendengar suaranya yang berdenting layaknya lonceng musim panas. Anak-anak perempuan akan mengekorinya dengan penuh kekaguman, berimpi-impi dapat menjadi dirinya ketika dewasa. Pemuda-pemuda, ksatria-ksatria dan pangeran-pangeran datang melintasi hutan-hutan gelap dan menyebarangi samudra hanya untuk sekejap momen yang pendek itu. Lalu, bila ada dari rakyatanya yang melihat kekaguman terbersit di mata orang-orang asing itu, mereka akan menepuk dada mereka dan berujar dengan penuh kebanggan,

'ialah Putri Mahkota kami. Tataplah sepuasnya, wahai pengelana, selagi ia ada dan kamu bisa, karena begitu tenda-tenda perayaan dirobohkan dan gerbang istana ditarik masuk, kamu tidak akan melihatnya hingga musim panen depan tiba. Oh, tentu saja ia tidak berada di luar gerbang istana setiap saat, rembulan akan menangis bila putri kami berkeliaran, membuatnya malu karena bagai punuk yang merindu.'

Oh, ya, tentu saja, Sang Putri tahu tentang semua itu. Ia tahu penghormatan dan kekaguman itu. Semua orang terlalu sibuk memberitahunyapengasuhnya, ibu susunya, tukang kebun, tukang masak, pangeran-pangeran negeri jauh serta lirikan iri putri-putri tetanggabahwa ialah yang terindah dari semua keindahan negeri ini, bahwa setiap helai rambutnya dapat ditukarkan dengan berkarung-karung makanan yang cukup untuk mencegah rakyatnya mati kelaparan selama tujuh musim. Ia tahu semua itu. ia tahu semenjak ia bahkan belum benar-benar mengerti apa artinya 'indah' atau 'rupawan'. Ia tahu bahwa dirinya istimewa. Keajaiban, begitulah ayahnya selalu berkata setiap mencium keningnya dan memandang matanya lekat-lekat. Tapi, demi Tuhan, buat apa ia peduli dengan karung-karung jelek berisi kentang, daging asap dan sayur-mayur untuk para jelata. Ia terlahir cantik bukan untuk mempreteli rambutnya satu-persatu, yang gelap seperti malam dan bersinar serupa disepuh emas, hanya untuk memberi makan orang asing sementara ia berubah botak dan buruk. Astaga.

Oh, bila kalian mulai berjengit dan berkata, 'tidak mungkin ada gadis secantik itu (meski tentu mungkin ada orang semenyebalkan) itu,' maka maafkan aku, karena aku belum menceritakan asal muasal keindahan Sang Putri. Dan apabila ia kira dirinya istimewa, maka, sayangnya, teman pengelanaku, hal itu benar adanya. Namun jika ia mengira kecantikan adalah keistimewaannya, maka sungguh pandir dan celakalah ia.

Kisah ini adalah kisah seorang gadis paling indah yang, layaknya kisah-kisah yang kamu dengar sebelumnya, sungguh angkuh lagi sombong. Ia adalah gadis yang lahir dari sebuah pengorbanan paling tulus yang tertera dalam kitab kehidupan manusia, lalu kemudian tumbuh dewasa dan menikahi kematian.

Apabila kalian kebingungan, tidak apa-apa dan bersabarlah, karena perlahan-lahan akan aku ceritakan permulaan dari penciptaannya. Maka, sekarang bersandarlah dan peluklah keliman selimutmu karena ini mungkin akan menjadi perjalanan yang sedikit panjang...