Wednesday 16 May 2018

90 Detik

Gadis itu menunggu lampu lalu lintas berubah menjadi hijau, menunggu ia dapat berlari sambil mengendong botol air mineral yang baru dibelinya dari supermarket. Ia menahan genangan air mata sembari mencaci dirinya sendiri. Kenapa aku menangis? tuntutnya. Kenapa aku bersedih? 

Udara senja musim semi membuatnya sesak. Dihadapannya, garis trotoar zebra cross berwarna putih cemerlang. Terlalu putih, gerutunya. Tempat ini tidak membuatnya nyaman. Tapi, pikirnya masak-masak, seandainya ia berada di sebuah dunia berwarna merah jambu pun, hatinya tetap sakit dan ia tetap ingin menangis.

Ia ingin mengerti kesedihannya. Ia tidak ingin mengerti. Pada dasarnya, ia ingin bisa bicara sesuatu yang kedengaran masuk akal dan dewasa, sesuatu yang kira-kira berbunyi seperti ini, 'tentunya, kamu akan mengerti dirimu sendiri seandainya kamu mengerti kesedihan dan kebahagiaanmu. Tentunya, akan adil bagi dirimu kalau kamu dapat memeluk kesedihan maupun kebahagiaanmu dengan sama lembutnya, mencoba memahami keduanya dengan derajat usaha yang sama. Saat itulah kamu dapat menerima siapapun dirimu.'

Tapi omong kosong macam apa itu.

Kemarin ia bermimpi akan cermin-cermin yang pecah. Dalam mimpinya, ia terbangun disebuah wastafel dengan cermin seukuran jendela kamarnya yang retak. Ia berjalan menuju ruangan besar dengan pot cokelat dan bunga-bunga mawar yang gemuk. Ia menemukan potongan cermin berceceran dibawah kakinya. Ia terbangun dan memikirkan akan hal-hal rusak yang tidak mungkin tersusun kembali. Ia memikirkan buku cerita yang baru dilihatnya di toko buku, namun tidak ia beli, tentang gadis kecil bertopeng serigala yang tinggal dibalik cermin dan mengutuk anak-anak ditengah malam.

Ia memutuskan menangis dan menunggu lampu berubah hijau. Ia menunggu orang-orang mulai memandanginya aneh sembari menghakiminya. Ia menunggu alasan yang dapat membenarkan kesedihannya. Sesuatu, selain alasan yang sebenarnya. Ah, pikirnya sambil menghela nafas. Inilah mengapa ia bersedih, melarikan diri memang tidak pernah menyelesaikan apapun.

Tapi, gerutunya. Apakah kita tidak boleh sekali-kali mencoba pura-pura kuat?

Lampu berubah hijau pada detik ke 45. Ia berlari melewati zebra cross, air mineralnya berguncang dalam botol plastik. Seandainya saja ia dapat berlari pulang dalam sekejap, sontak ia akan berbaring di dekat kulkas dapurnya; yang berbau cabai, bawang dan rempah-rempah, tempat dimana ia merasa aman diselimuti dengungan listrik dari kulkas setengah rongsoknya. Sesuatu yang mengingatkannya pada neneknya, sesuatu yang mengingatkannya pada bumi tua yang hangat, yang mampu melelehkan keletihannya.

2 comments:

  1. sering sering nulis gini lagi donk! ��

    ReplyDelete
  2. Sering2 deh lo stuck sama proposal lo, biar bs sering2 buat cerpen caem kayak gini. #loh #gakdeng. Semangattt biar segera kembali ke bumi tua yang panas (aka jakarta) hahahaha <3

    ReplyDelete